Minggu, Desember 26

Kenangan yang tertinggal


       Ketika rencana pembuatan jalan bebas hambatan itu jadi pembicaraan di surat kabar dan
televisi, maka Buyunglah yang paling gelisah di antara seisi rumah. Bagaimana tidak. Proyek
jalan tol itu melintasi tanah orang tuanya, tempat padepokan seninya berada. Jika tanah orang
tuanya kena gusur, berarti hilang sudah padepokannya, tempat dia belajar kesenian bersama
teman-teman sekolahnya.
             Tapi, bapak, ibu, dan kedua kakak perempuannya malah menyambut gembira rencana
itu. Kelihatannya mereka sedang membayangkan uang ganti rugi yang mencapai puluhan juta.
Wah, Bapakku bisa tambah kaya, nanti! Pikir Buyung. Dan kalau Buyung mencoba menentang
rencana penggusuran tanah itu, kedua kakaknya pasti menertawakannya dan dengan kompak
mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang terlalu mementingkan dirinya sendiri. Egois.
Tidak mementingkan orang banyak.
 “Padepokan Buyung bagaimana, Pak?” Protes Buyung manja.
 “Padepokan saja yang kamu urusi, Buyung!” kata Bapak agak kesal. Beliau memasukkan
tembakau ke pipa cangklongnya. “Kamu kan bisa bikin lagi di tanah Bapak yang lain! Bikin
padepokan lagi di sana!”
                   Tanah orang tuanya memang banyak. Warisan turun temurun. Jika tanah tempat
padepokannya itu kena proyek jalan tol, maka tanah bapaknya masih bertebaran. Bapaknya
memang terkenal dengan sebutan feodal, juragan tanah, karena punya tanah di mana-mana.
Bapaknya sangat disegani orang-orang. Tapi, walaupun begitu bapaknya selalu mengelak jika
dicalonkan menjadi kepala desa atau yang lebih tinggi dari itu. Misalnya anggota dewan di
kabupaten sekalipun. Bapaknya cukup merasa bahagia mengurusi usaha dagang material
bangunan sambil mengawasi sawahnya dan sesekali pergi memancing di irigasi.
 Sebagai anak bungsu Buyung terus merengek tidak mau terima dengan rencana gila
itu. Namun bapaknya bilang, untuk pembangunan kita harus mau berkorban. Apalagi untuk
kepentingan umum. Buyung tidak bisa berkutik. Ya, dia bisa saja membuat lagi padepokan
di tanah yang lain, tapi tak semudah itu! Padepokan seninya sudah dia dirikan sejak SMP. Itu
berarti lima tahun yang lalu.
 Di tanah bapaknya yang berupa pesawahan, di sebuah sudutnya ada kantong kecil
berupa hutan kecil yang rimbun dengan pepohonan. Ada jambu air, mangga, jambu batu,
pepaya, kedondong, rumpun bambu, dan segerombolan pohon pisang. Dengan seizin
bapaknya dibangunlah sebuah gubuk beratapkan daun kelapa dan bangku-bangku dari
bambu di halamannya. Ada panggung kecil di tengah-tengahnya, tempat kelompok teater
sekolah bermain. Itulah padepokan seninya. Dia menamai padepokannya dengan sebutan
”Padepokan Rumah Seni”.
         Di padepokan itulah Buyung menyalurkan gairah seninya. Hampir setiap sore ia duduk
berangin-angin, melukis para petani, kerbau, lumpur, padi, sungai, irigasi, dan gunung. Setiap
malam Minggu, seusai berkumpul dengan kawan-kawan sekolahnya, Buyung menghabiskan
malam di padepokan bersama teater sekolahnya; menanak nasi liwet sambil berburu belut
dan kodok swike di sawah, atau menyembelih ayam. Pada hari-hari yang hening dan romantis,
Buyung membuat puisi dan cerita pendek.
         Itulah mengapa padepokan ini sangat penting bagi Buyung. Rasanya tak ada yang
berharga lagi di muka bumi ini setelah keluarga dan kelompok teaternya selain padepokannya.
Hancur dan remuk jiwanya setelah tahu pasti enam bulan lagi segalanya akan dicakar-cakar
oleh buldoser. Akan rata dengan bumi dan di atasnya akan dilapisi aspal panas. Akan dilindasi
roda-roda gila kendaraan yang menuju daerah wisata di pantai Anyer. Orang-orang Jakartalah
yang sebetulnya menuntut jalan tol ini dibuat, karena dengan begitu mereka bisa lebih lancar
berwisata ke Anyer.
Berarti Buyung cuma punya sisa waktu enam bulan lagi untuk menghabiskan hari-harinya
bersama kelompok teaternya di padepokan. Bersamaan dengan pengumuman hasil ujian akhir
sekolahnya.
 ”Pokoknya, dalam sisa waktu yang sedikit ini, Buyung memilih tinggal di padepokannya
saja!”
 ”Buyung!” ibunya berusaha mencegah.  
 ”Biarin aja, Bu!” kata kakak perempuannya yang nomor dua.
 Buyung sudah duduk di sadel sepeda gunungnya. Ransel kecil yang penuh dengan
perbekalan nemplok di punggungnya. Dia sudah memutuskan untuk mengungsi ke
padepokannya, merasakan bagaimana nikmatnya hidup di padepokan. Menjadi orang bebas
dan raja kecil bagi dirinya sendiri.
 ”Buyung kan nggak pergi jauh, Bu,” katanya. ”Cuma beberapa kilo saja dari rumah. Kalau
Ibu kangen kan bisa nengok Buyung di padepokan sambil bawa panggang ayam kesukaan
Buyung,” si bungsu itu tersenyum menghibur ibunya. ”Itung-itung menikmati hari-hari terakhir
padepokan, Bu!”
     Bapaknya hanya mengangguk saja, membiarkan Buyung dengan pilihannya.
     Buyung mengayuhkan sepeda gunungnya ke luar kota. Membelok ke jalan perkampungan.
Angin sore yang segar dan bau lumpur membuat dadanya lapang. Dia menyeberangi jembatan
irigasi. Kini di atas tanah ayahnya sudah dipancang tiang-tiang beton dan kawat berduri. Untuk
mencapai padepokannya, Buyung harus menerobos pagar itu. Ini sangat menyiksa batinnya. Dia
merasa sudah kehilangan padepokannya saat ini juga.

  Dikutip dari Antologi Cerpen Pilihan The Story of Jomblo, 2005.